Melihat perkembangan situasi di Ibukota sejak 21 Mei 2019, saya sempat membatin "kayaknya waktu Ahok kalah Pilkada DKI Jakarta pendukungnya nggak gitu-gitu amat.."
Melihat perkembangan situasi di Ibukota sejak 21 Mei 2019, saya sempat membatin "kayaknya waktu Ahok kalah Pilkada DKI Jakarta pendukungnya nggak gitu-gitu amat.."
Ingatan ini kembali ke medio April-Mei 2017. Sudah dua tahun berlalu, tapi saya masih ingat apa yang terjadi. Saat itu hasil quick count mengatakan Anies Baswedan-Sandiaga Uno unggul atas Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.
Prabowo menggelar konferensi pers menunjukkan kebahagiaannya atas kemenangan calon yang diusung Gerindra-PKS itu. Saat itu hasil quick count sejumlah lembaga survey belum 100 persen, tapi sudah di posisi stabil. Prabowo kala itu sangat percaya dengan yang namanya hitung cepat Pilkada. Kontras dengan narasi yang Ia tunjukkan sejak 17 April 2019 pukul 3 sore ketika lembaga survey mulai menayangkan hasil quick count Pilpres.
Ahok pun mengucapkan selamat ke Anies-Sandi. Sungguh sikap seorang politisi yang layak dijadikan contoh, Sebelumnya di putaran pertama pun, Agus Harimurti Yudhoyono juga melakukan hal yang sama.
Yang lemas ketika itu adalah pendukung Ahok. Sudahlah Ahok kalah, Ia juga akan menuju sidang pembacaan vonis kasus dugaan penistaan agama. Benar-benar moment-moment yang kelabu untuk dikenang.
Tapi saat itu nggak ada ancaman massa yang mau rusuh. Yang datang adalah gelombang karangan bunga yang awalnya ditujukan ke Balaikota namun karena jumlahnya sangat banyak akhirnya memadati trotoar jalanan sekitar Balaikota.
Nggak ada satupun pendukung Ahok saat itu koar-koar akan people power. Kalau tidak salah ingat, banyak orang yang makin giat ke Balaikota karena tahu ini saat-saat terakhir bisa bertemu dan mengeluh ke Ahok. Ahok terancam masuk penjara sehingga sangat mungkin Ia tak sampai Oktober 2017 ada di Balaikota.
Yang rusuh seingat saya malah rombongan massa yang melakukan demo di hari buruh. Nggak tahu apa yang ada di pikiran mereka saat itu, karangan bunga untuk Ahok mereka bakar. Sungguh mereka itu ciri 'senang melihat orang susah, susah melihat orang berusaha senang'.
Puncaknya adalah saat Ahok divonis penjara dua tahun dan harus masuk hari itu juga. Vonis itu sebenarnya nggak mengagetkan, karena tekanan ke penegak hukum demikian besar. Kelompok yang berambisi memenjarakan Ahok saat itu sedang berada di atas angin karena Cagub-Cawagub yang mereka usung menang. Sombongnya bukan kepalang.
Saat Ahok pun dipenjara, kekecewaan itu ada. Tangis pun tumpah. Ya wajar dong, sudah kalah Pilkada, Ahok masuk penjara pula, Dua tahun. Siapa yang tak sedih.
Tapi apakah mereka rusuh? Nggak. Mereka memang menangis di depan tempat Ahok dipenjarakan. Aksi lilin digelar. Mereka orasi menyuarakan kekecewaaan. Tapi ya sudah, setelah itu hidup terus berjalan.
Padahal mungkin kalau dipikir-pikir, pendukung Ahok itu seharusnya jauh lebih dongkol. Bagaimana tidak, saat Pilkada DKI Jakarta yang digunakan adalah isu SARA. Mereka nggak segan membuat mayat tak diurus jenazahnya hanya karena beda pilihan politik. Cara yang sama kemudian digunakan kubu itu di Pilpres. Untungnya, silent majority bergerak dan melawan di bilik suara.
Ahok bukan jenderal, bukan sosok dengan pengalaman militer. Tapi dia tahu bagaimana harus mengondisikan massanya yang kecewa. Pendukungnya pun jauh lebih bijak dan dewasa dalam bersikap. Mereka tahu bagaimanapun Pilkada sudah digelar, kenyataannya Ahok kalah. Pendukung Ahok itu tidak mengklaim dirinya agamis, tapi tahu yang namanya takdir sudah digariskan dan manusia harus bisa ikhlas dengan apa yang Allah sudah buat sebagai ketentuan.
Toh hidup terus berjalan. Para pendukung itu memilih mengawasi Anies dan Sandi bekerja di DKI Jakarta. Seharusnya pendukung Prabowo-Sandi juga seperti itu.
Buat apa teriak-teriak minta Jokowi mundur dan mengalah? Ini konstitusi dan Pilpres itu bukan dolanan bocah yang kalau ada yang nangis kemudian solusinya kawannya disuruh ngalah biar keadaan ayem. Yang maju itu kakek berusia 67 tahun dan laki-laki yang usianya hampir setengah abad. Bukan anak umur di bawah lima tahun.
Tapi tidak apa-apa, inilah politik. Kita bisa melihat kedewasaan pendukung mencerminkan juga kedewasaan berpolitik tokoh yang mereka banggakan. Untung saya bukan pemilih 02.