Akhir tahun 2018 yang lalu, Koordinator Jubir BPN Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak mengkhawatirkan Pemilu 2019 berjalan curang.
Akhir tahun 2018 yang lalu, Koordinator Jubir BPN Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak mengkhawatirkan Pemilu 2019 berjalan curang.
Pasalnya, menurut Dahnil, KPU masih belum mampu menyelesaikan 31 juta DPT bermasalah.
Dalam hal ini, ada masyarakat yang sudah memiliki e-KTP tapi belum terdaftar di DPT Pemilu 2019.
Tak hanya itu, Dahnil juga cemas adanya Pemilih siluman.
"Kalau kemudian DPT ini waktu kemarin masih 31 juta ini masih bermasalah, Pilpres 2018 ini namanya bukan pertarungan Prabowo-Sandi lawan Jokowi-Ma'ruf tapi pertarungan Prabowo-Sandi versus kecurangan," kata Dahnil saat itu, (31/12/2018).
Dahnil mengungkapkan, jika hal itu memang sudah diatur, maka pertarungan Pilpres 2019 hanya akan menghasilkan Pemimpin yang tidak kredibel.
Jadi, ia berharap, pengawasan masyarakat secara masif, selama tahapan Pemilu, sampai penghitungan suara sangat penting, agar tidak terjadi kecurangan.
"Jadi kami akan pantengin DPT, kalau kemudian DPT itu masih dibuka peluang-peluang tambahan-tambahan yang irasional maka sejak awal Pak Prabowo menyebutkan buat apa kita bertarung. Kita mau berkompetisi antara Prabowo-Sandi vs Jokowi-Ma'ruf bukan Prabowo-Sandi vs kecurangan," ujarnya.
Dahnil pun mengingatkan KPU agar bisa mengembalikan kepercayaan rakyat yang semakin hilang karena kotak suara kardus.
Sebab, menurut Dahnil, masyarakat khawatir hasil suara dari Kotak suara kardus rawan dimanipulasi.
"Dan kami mengajak masyarakat untuk sama-sama kita awasi," ucap pria bertubuh tambun yang pernah terseret kasus dugaan korupsi dana kegiatan 'Kemah Pemuda 2017' itu.
Tapi, ada yang menarik dari sikap kritis Dahnil itu, yakni ternyata dirinya sendiri yang diduga melakukan kecurangan.
Dahnil ketahuan makan malam bareng Ketua KPU Kota Pariaman Sumatera Barat, Abrar Aziz.

Padahal sudah sangat jelas, dalam Peraturan Bersama Bawaslu dan DKPP, No.13 tahun 2012, No.11 tahun 2013, dan No.1 tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, bahwa penyelenggara Pemilu berkewajiban :
Bertindak netral dan tidak memihak capres tertentu.
Memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu dan pihak yang terlibat dalam proses Pemilu.
Menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi pihak lain.
Ketika ketua KPU bertemu dengan Jubir salah satu paslon capres/cawapres jelas itu mengarah kepada ketidaknetralan ketua KPU tersebut.
Belum lagi pertemuan antara Dahnil-Abrar tersebut menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan Pemilu, yakni menimbulkan kecurigaan pihak capres/cawapres lain, serta bertentangan dengan upaya untuk menghindari intervensi pihak lain.
Adanya indikasi pelanggaran dalam pertemuan itu, kemudian membuat ketua KPU Pariaman dilaporkan ke DKPP.
Abrar bahkan terancam sanksi maksimal pemecatan.
"Kalau tidak terbukti, rehab. Kalau terbukti sesuai dengan derajat kesalahan. Sanksi tertinggi pemberhentian tetap, diberhentikan sebagai ketua, bisa diTegur dari yang biasa sampai yang keras," ujar anggota DKPP, Teguh Prasetio, (29/03).
Buntut dari laporan itu, Abrar pun di sidang.
Dalam persidangan, Abrar mengakui, bahwa ia telah bertemu dengan Dahnil. Namun Abrar membantah adanya pembahasan mengenai Pemilu dalam pertemuan tersebut, karena pertemuan itu terjadi secara spontan.
Hahaha. Ada pula pertemuan antara Jubir capres dan ketua KPU terjadi secara spontan.
"Sidang ini digelar untuk menggali fakta terhadap dugaan pelanggaran kode etik yang diadukan pengadu. Salah satu fakta disebutkan jika terlapor membenarkan adanya pertemuan namun sebatas spontanitas," kata, Teguh.
Menurut Teguh, kesimpulan sidang akan dibawa ke Jakarta untuk kemudian diplenokan di hadapan 7 komisioner DKPP lainnya.
Hasil sidang, nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan berbagai sanksi. Bisa dari yang teringan, yakni rehabilitasi terhadap teradu, hingga sanksi tertinggi, yakni pemberhentian teradu sebagai Ketua KPU.
"(Bagaimana) putusannya, sabar (menunggu)," ujar Teguh.
Begitulah kira-kira kelakuan tim capres sebelah. Semuanya dibuat serba terbalik.
Ngakuinya paling peduli sama rakyat kecil dan akan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, tapi capresnya menguasai 340 ribu hektar lahan atau setara dengan 5 kali luas di DKI Jakarta.
Kemudian yang seorang ini, Dahnil, mengaku khawatir akan terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu. Tapi dia sendiri yang melanggar peraturan mengenai penyelenggaraan Pemilu.
Dasar kampret!