Katanya Prabowo mengandalkan para ahli hokum ketika mengajukan gugatan hasil Pemilu ke MK. Nyatanya permohonan itu tidak sesuai dengan kewenangan MK. Dari tujuh tuntutan Prabowo ke MK, pada poin ke enam tidak mungkin dikabulkan MK.
Katanya Prabowo mengandalkan para ahli hokum ketika mengajukan gugatan hasil Pemilu ke MK. Nyatanya permohonan itu tidak sesuai dengan kewenangan MK. Dari tujuh tuntutan Prabowo ke MK, pada poin ke enam tidak mungkin dikabulkan MK.
Bunyi tuntutan itu sebagai berikut:
6. Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk seketika untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
Menanggapi gugatan Prabowo yang mustahil dikabulkan itu, Yusril santai saja bahkan menertawakannya. Menurut Yusril MK hanya memutus sengketa hasil Pemilu. Soal tindak lanjut dari keputusan MK sudah menjadi kewenangan KPU. Jadi bukan kewenangan MK menetapkan capres jadi presiden.
"Hahahahahha ya saya kira dibaca saja kewenangan MK. MK hanya memutuskan sengketa akhir pemilu. Nanti tindak lanjutnya oleh KPU. Jadi kalau dimohon kepada MK, namanya sebagai memohon, ya boleh saja. Apakah akan dikabulkan atau tdk kita serahkan sepenuhnya kepada hakim MK.” (Yusril, Detik)
Yusril mengacu pada kewenangan MK pada UU Pemilu Pasal 475 ayat 2:
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Jadi menurut UU Pemilu di atas, MK tidak berhak mengabulkan permohonan Prabowo untuk menetapkannya sebagai presiden 2019-2024, melainkan memutuskan apakah perkara hasil pemilu itu mempengaruhi perolehan suara pada Pemilu. Apakah mempengaruhi suara Prabowo atau tidak.
Misalnya, MK memutuskan terdapat kecurangan di seribu TPS terhadap perolehan suara Prabowo dan sudah dibuktikan. Dengan catatan tidak terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematik dan massif (TSM). Maka suara Prabowo di sejumlah TPS tersebut akan ditambahkan, yang secara otomatis akan mengurangi suara Jokowi. Kemudian hasil perhitungan kembali itu akan menghasilkan suara signifikan yang akan menjadikan Prabowo menang atau tidak. Kalau ternyata setelah ditambahkan tetapi tetap kalah, maka hanya hasil perolehan suara saja yang berjubah, tetapi status kemenangan Jokowi tidak berjubah.
Hal ini sesuai dengan Peraturan MK Pasal 8 Nomor 4 Tahun 2018 yang berbunyi:
“Petitum, memuat permintaan untuk membatalkan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh Termohon, dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut Pemohon.”
Itu pun masih menurut logikanya saja. Bagaimana kalau ditemukan ternyata kecurangan yang terjadi di seibu TPS itu justru menguntungkan Prabowo, ya beda lagi. Bagaimana kalau terbukti ada kecurangan tetapi tidak mengubah perolehan suara Pilpres, lain lagi. Bagaimana pula kalau ternyata bukti-bukti yang ada tidak memenuhi, ya lebih ngenes lagi.
Bagaimana kalau ternyata BPN dapat membuktikan bahwa terdapat kecurangan pada Pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif? Kalau itu yang terjadi, bukan tidak mungkin diadakan pemilu ulang atau Jokowi didiskualifikasi. Pemilu ulang sepertinya sangat tidak mungkin dilakukan. Mungkin lebih mudah mendiskualifikasi Jokowi-Amin.
Tetapi sayangnya, BPN hanya membawa bukti link berita untuk membuktikan kecurangan yang TSM. Ada berupa link berita Jokowi meresmikan salah satu proyek pemerintah yang sudah selesai. Ada juga link berita hoaks akun media sosial @opposite869 terkait dengan keterlibatan kepolisian dalam memenangkan Jokowi.
Tanpa saya ingin mendahului keputusan MK, menurut saya bukti seperti itu tidak membuktikan apa-apa. Apalagi mau membuktikan kecurangan yang TSM. Bagaimana mungkin kegiatan rutin Presiden dijadikan bukti kecurangan TSM, kan sudah gila. Publik pun saya kira bisa menyaksikan secara terbuka setiap peresmian proyek pemerintah yang sudah selesai yang terjadi selama masa kampanye. Tidak ada satu pun peristiwa di mana Jokowi mengampanyekan dirinya. Jangankan untuk mengajak memilih dia, menyinggung soal Pemilu saja tidak ada. Kecurangannya di mana? Tanya saja Said Didu, ASN yang jadi juru bicara tidak resmi BPN di media sosial dan ke kampus-kampus.
Pun demikian juga dengan link berita hoaks tentang keterlibatan kepolisian tidak membuktikan apa-apa. Jauh sebelum Pemilu, kepolisian sudah mengonfirmasi bahwa mereka tidak berpihak kepada salah satu pasangan. Polisi bahkan sudah mengejar pembuat dan penyebar hoaks tersebut. Bagaimana mungkin BPN menjadikan akun anonim sebagai bukti di persidangan? Ya tanya saja si raja hoaks Mustofa Nahra yang sekarang sedang diperiksa polisi. Hanya dia yang tahu bagaimana caranya hoaks dijadikan bukti di pengadilan.
Jadi kalau Yusril menertawakan tuntutan Prabowo, ya pantas. Nanti akan kita lihat banyak lagi dagelan kesaksian di persidangan. Tidak jauh beda dengan yang sudah pernah terjadi di 2014.
Sumber: Seword
COMMENTS