Istilah “people power” sebenarnya sudah lama ada, namun baru bergaung kembali setelah dilontarkan oleh Amien Rais. Versinya Amien Rais ini tentunya disesuaikan dengan maksud dan kehendak gerombolan yang diusungnya.
Istilah “people power” sebenarnya sudah lama ada, namun baru bergaung kembali setelah dilontarkan oleh Amien Rais. Versinya Amien Rais ini tentunya disesuaikan dengan maksud dan kehendak gerombolan yang diusungnya. Yakni berharap untuk memprovokasi rakyat, berharap rakyat jadi panas dan mau mengikuti apa pun kehendak sang junjungan, Prabowo. Memperalat rakyat agar berdemo jika Prabowo kalah dalam Pilpres. Juga berharap rakyat menjadi percaya akan terjadinya kecurangan dalam Pemilu, jika Prabowo kalah. Waktu pertama kali Amien Rais menyerukan “people power” ini memang sebelum hari H Pemilu 2019. Sehingga banyak pihak menduga bahwa Prabowo memang sudah tahu kalau dia akan kalah dalam Pilpres 2019.
Namun, apa yang terjadi kemudian, tidak sesuai dengan harapan Amien Rais. Justru banyak terjadi penolakan terhadap “people power” ini.
Ajakan Amien Rais nggak laku. Kalaupun ada yang akhirnya ikutan demo di depan Bawaslu pada tanggal 22 Mei, itu hanya segelintir orang. Selain itu orang-orangnya yang itu-itu saja. Gerombolan pendukung Neno Warisman serta antek-antek Prabowo lainnya. Sedangkan sisanya yang bikin rusuh pada tanggal 21-22 Mei adalah massa bayaran. Massa preman bertato, yang sudah ditangkap aparat. Amien Rais sendiri sempat menyebut pihak kepolisian bagai PKI yang menembaki umat Islam secara ugal-ugalan. Memang ada santri bertato kayak preman yang bikin rusuh, bakar-bakar mobil dan menjarah warung PKL?
Wajar jika publik pun tergerak hatinya untuk menyerukan penangkapan terhadap Amien Rais. Ini memicu gerakan people power yang sesungguhnya. Sebuah gerakan yang berasal dari rakyat, dari hati nurani rakyat. Yang tidak mau negara dan bangsa ini diperalat oleh para petualang politik macam Amien Rais. Lahir lah sebuah petisi online.
Poin saya di sini adalah meluruskan makna people power yang sudah dibelokkan oleh Amien Rais dan gerombolannya. People power itu bukanlah alat sebuah kelompok demi mencapai tujuan kelompok itu. Dalam konteks Amien Rais, demi syahwat berkuasa. People power harus lahir dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Konsep yang sejalan dengan demokrasi. Dan kalau bicara demokrasi, maka harusnya hasil pemilu sudah absolut. Yang kalah harus mengakui kekalahannya. Bukannya malah memprovokasi (atau membayar?) massa untuk berbuat rusuh. Betul?
Gerakan people power yang murni lah yang kemudian melahirkan sebuah petisi. Ini khas cara milenial untuk menyatakan pendapat. Kalau demo-demo itu kan capek yah panas-panas, dan emosi bisa saja nanti tidak terkontrol. Selain Amien Rais, saya juga mencermati satu petisi lain yang isinya menyerukan pencopotan Anies Baswedan dari jabatan Gubernur DKI Jakarta.
Kedua petisi ini layak diviralkan, karena sudah ada lebih dari 100 ribu netizen yang menandatanganinya.
Petisi soal pencopotan Anies ini sudah dimulai sejak 10 bulan lalu, sekitar bulan Juli 2018. Petisi ini mempermasalahkan kegagalan Anies memimpin Jakarta, termasuk penggunaan APBD yang tidak efektif dan produktif, misalnya soal TGUPP yang digaji tinggi namun tanpa hasil signifikan. Sampai saat ini sudah 147.924 netizen yang berpartisipasi.
Sementara itu, petisi tentang penangkapan Amien Rais baru dimulai sejak sekitar 2 minggu lalu. Digagas oleh Adi Kurniawan, Ketua Umum Barisan Relawan Nusantara. Hebatnya, pencapaian partisipasi para netizen hingga saat ini sudah menembus angka 100.138. Cukup fantastis dalam rentang waktu hanya 2 minggu. Petisi ini mempermasalahkan provokasi yang dilakukan oleh Amien Rais, yang tidak mempedulikan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Serta menyebut Amien Rais sebagai salah satu dalang aksi massa rusuh tanggal 21-22 Mei lalu. “Saya ingin negara ini damai,” tulis seorang netizen mengungkap alasannya ikut menandatangani petisi ini. Sebuah alasan yang saya yakin ada di dalam hati puluhan juta rakyat Indonesia.
Ini lah people power yang sebenarnya. Sebuah kekuatan rakyat yang murni, berdasarkan universal virtues. Karena pada dasarnya semua manusia itu punya kebaikan di dalam hatinya. Kebaikan yang membentuk batasan-batasan moral secara umum. Misalnya bahwa kita sepakat kalau memfitnah itu adalah perbuatan yang jahat. Menuduh polisi PKI dan menembaki umat Islam, tanpa bukti dan tanda dasar, tentu jadi tergolong fitnah, bukan? Apalagi di dalam Bulan Puasa ini. Buktinya apa? Jauh lebih banyak warga masyarakat yang mengapresiasi aparat kepolisian dan TNI kan? Memangnya polisi yang bakar-bakar mobil dan menjarah warung milik rakyat kecil? Kalau ada korban jatuh dan luka, serahkan saja pada pihak yang berwajib untuk menyelidikinya. Toh sudah banyak pernyataan resmi aparat kepolisian yang betul-betul didasarkan atas fakta dan bukti nyata. Tidak asal tuduh seperti Amien Rais. Sekali lagi, kedua petisi ini lah contoh people power yang sebenarnya. Viralkan!
(Sekian)
COMMENTS