Penjara Menanti Aktor "Makar" Berkedok Ijtima' Ulama IV
Ijtima' ulama IV kembali digelar yang menghasilkan 8 poin utama yang diantaranya ingin mewujudkan negara syariah. Hal ini jelas-jelas bisa dikategorikan perbuatan makar mengingat negara bedasarkan pancasila adalah keputusan final yang tak dapat diganggu gugat.
Makar diatur dalam 3 pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 104, 106 dan 107. Pasal 104 itu terkait keselamatan presiden, 106 terkait dengan pemisahan negara kekuasaan, 107 tentang menghasut untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pasal 107 Ayat 1 KUHP: Makar dengan maksud menggulingkan pemerintah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Salah seorang pengamat, Hibnu mengatakan pasal-pasal tersebut termasuk delik formil, bukan materiil. Dalam delik formil, dugaan makar bisa diadukan meski peristiwa tersebut belum terjadi.
Sebelumnya beberapa tokoh pernah ditangkap terkait dugaan makar seperti Kivlan Zein, Lius Sungkarisma, Eggi Sudjana dan penangkapan terkait demo 212. Penangkapan tersebut merupakan langkah yang tepat sebagai pencegahan agar makar tak benar-benar terjadi. Makar yang diatur di KUHP bertujuan melindungi wibawa pemerintahan yang sah serta mencegah perpecahan.
Ijitima' ulama IV menghasilkan beberapa poin yang secara tersirat tak mengakui pemerintah yang sah dan ingin mengubah ideologi dan dasar negara sesuai syariah islam.
Seperti diberitakan CNN Indonesia -- Ijtimak Ulama IV menghasilkan empat poin pertimbangan dan delapan poin rekomendasi. Salah satunya meminta umat Islam untuk sama-sama mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah.
Pada poin pertimbangan, Ijtimak Ulama IV menyebut seluruh ulama menyepakati penegakan khilafah adalah kewajiban agama Islam.
"Bahwa sesungguhnya semua ulama ahlussunah waljamaah telah sepakat penerapan syariah dan penegakan khilafah serta amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban agama Islam," kata Penanggung Jawab Ijtimak Ulama IV Yusuf Muhammad Martak di Hotel Lorin Sentul, Bogor, Senin (5/8).
Seharusnya para aparat bisa menangkap di tempat para aktor dibalik ijtima' ulama 4 ini. Mereka jelas-jelas mengusung ideologi HTI yang ingin menegakkan khilafah di bumi pancasila. Padahal HTI sendiri sudah dianggap ormas terlarang dan dibubarkan, tapi nyatanya mereka masih bebas melenggang dengan tameng agama dan sorban.
Apakah para aparat ketakutan dianggap mendzolimi ulama atau dianggap musuh islam kalau menindak mereka? Kenapa begitu lemah hukum negara kita yang menyebabkan paham radikal tumbuh begitu suburnya?
Bukankah berawal dari gerakan-gerakan kecil seperti inilah mereka menumbuhkan kebencian pada pemerintah melalui generasi muda? Masih ingatkah kita semua akan peristiwa kelam kerusuhan 21-22 mei lalu yang mengorbankan para remaja berjumlah 10 orang? Ada yang menyebut seruan jihad mereka dapatkan dari guru ngaji sebelum berangkat melakukan kerusuhan. Begitu hebatnya doktrin sesat hingga menimbulkan korban jiwa dari kalangan muda.
Serangkaian peristiwa tersebut tak dapat dipisahkan dari seruan people power ala Amien Rais, Eggie Sudjana dan rekan-rekannya. Hingga menyeret nama mantan jenderal Sofyan Jacob terkait kasus makar. Apakah aparat menunggu terjadinya kerusuhan terjadi baru bergerak?
Andai sebelum demo 212 para aparat tak menangkapi beberapa aktor makar, mungkin skenario mereka untuk menghasut massa dan menduduki gedung DPR kala itu bisa terwujud. Antisipasi dini sangat perlu dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
Tengoklah sejarah masa orde lama. Kata Soekarno "jas merah", jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bagaimana orde lama memperlakukan para pengkhianat bangsa yang ingin memaksakan syariah. Soekarno berani menghukum mati temannya sendiri yang tak mengakui pancasila.
Cerita bermula saat Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Soekarno kemudian mengirimkan tentara dari Divisi Siliwangi dan satuan-satuan lain untuk menumpas gerakan Kartosoewirjo.
Peperangan gerilya di belantara Jawa Barat berlangsung lama. Baru tahun 1962 gerakan ini dipatahkan. Kartosoewirjo ditangkap tentara Siliwangi saat bersembunyi dalam gubuk di Gunung Rakutak, Jawa Barat tanggal 4 Juni 1962. Soekarno menjatuhkan hukuman mati pada Kartosuwiryo.
Saat ini pemerintah menghadapi musuh yang sama tapi memakai cara licik. Mereka mengaku berdiri sesuai pancasila tapi nyatanya memaksakan syariah dan agama di atas konstitusi. Bumbu-bumbu nasionalis dicampur untuk menutupi kedok mereka yang ingin menggerogoti ideologi negara dari dalam. Baik HTI atau FPI dan sejenisnya sebenarnya tak pernah mengakui demokrasi. Dengan hasil ijtima yang jelas menodai ideologi kita sudah sepantasnya musuh negara berkedok ulama bisa dijebloskan ke penjara.
Sumber: Seword.com
COMMENTS