Biasanya keseharian Prabowo menunggangi kuda yang harganya 3 M per ekor. Gagah dia di atas kuda. Bahkan dia pernah pamer ke Jokowi dengan mengajak menunggangi kuda bersama-sama. Kalau dibandingkan Jokowi yang dipoles bagaimana pun perangainya memang sudah sederhana, Prabowo tampak jauh lebih gagah. Tetapi itu kalau dalam dunia nyata.
Biasanya keseharian Prabowo menunggangi kuda yang harganya 3 M per ekor. Gagah dia di atas kuda. Bahkan dia pernah pamer ke Jokowi dengan mengajak menunggangi kuda bersama-sama. Kalau dibandingkan Jokowi yang dipoles bagaimana pun perangainya memang sudah sederhana, Prabowo tampak jauh lebih gagah. Tetapi itu kalau dalam dunia nyata.
Berbeda Prabowo dalam dunia politik. Ambisi Prabowo telah menggelapkan matanya sehingga dia tidak tahu mana kawan sejati mana kawanan pengerat atau benalu. Atau mungkin karena ambisi jadi presiden, dia sengaja merelakan diri ditunggangi siapa pun yang mau mendukungnya. Yang mana pun pilihannya, Prabowo tetap berada pada posisi sulit.
Menolak dirinya ditunggangi, bisa jadi akan mengubur hasratnya untuk jadi presiden bahkan sebelum pencalonan capres dimulai. Terbukti kala itu dia menjual dirinya ke FPI dengan menandatangani fakta integritas pemulihan status hukum dan jaminan kembalinya Rizieq Shihab. Padahal 2014 secara terang-terangan Hashim menyebut FPI sebagai organisasi radikal.
Prabowo pun terpaksa menerima Amien Rais di barisannya. Padahal dulu Amien Raislah yang paling getol mau memenjarakan Prabowo. Sekarang Amien menunggangi Prabowo hanya karena dia sedang memuluskan langkah anak-anaknya melenggang ke politik. Selain tentu Apakah benar ada kardus yang mengalir ke sengkuni itu seperti yang dirumorkan orang. Terbukti pula Amien Rais – dengan kelicikan ular beludaknya – bukannya semakin memuluskan langkah Prabowo melainkan semakin membawanya kemungkinan dimintai pertanggungan jawab atas kerusuhan yang akhir-akhir ini terjadi.
Bukan hanya FPI, HTI dan para simpatisan teroris pun berbondong-bondong mengelilingi Prabowo. Padahal mereka itu sudah jelas-jelas merusak image Prabowo sebagai orang yang selama ini masih diharapkan bersikap negarawan. HTI dan simpatisan teroris justru memperparah posisi Prabowo yang kemudian digadang-gadang sebagai orang yang akan membawa Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah.
Terkait HTI dan para simpatisan teroris, Prabowo sudah diingatkan para cerdik pandai entah dari kalangan pengamat politik pun dari kalangan cendekiawan muslim. Tetapi yang namanya orang sudah dipenuhi ambisi politik, tidak peduli lagi bahaya yang menanti di depan mata. Memang Prabowo mendapat dukungan dari kalangan itu, tetapi banyak juga yang menjauh dari Prabowo karena dukungan HTI dan simpatisan teroris itu.
Masih ada lagi, yang murni kepentingan politik, yaitu Demokrat. Belakangan diketahui Prabowo terpaksa memohon ke SBY untuk bergabung ke koalisi. Bahkan kala itu Prabowo memuja-muja SBY. Nyatanya, SBY tidak peduli dengan ambisi Prabowo. Tanpa ada sikap menjaga perasaan Prabowo, SBY menyatakan bukan fokus terhadap Pilpres, melainkan terhadap Pileg. Prabowo lagi-lagi hanya capres pajangan saja bagi Demokrat sementara calegnya berbondong-bondong mengusung Jokowi.
Sampai detik terakhir pun Prabowo tidak sadar-sadar juga. Dia masih saja belum siuman dari khayalan masa kecilnya, jadi presiden Indonesia. Pengakuan Andi Arief mengonfirmasi bahwa Prabowo dikadali orang-orang terdekatnya terkait data klaim kemenangan 62% yang berasal dari setan gundul. Entah setan gundul itu Amien Rais, Kivlan Zen, Mustofa Nahra sebagai tim IT BPN, kita tidak tahu dengan pasti. Yang pasti, Prabowo lagi-lagi dikibuli dan dia menikmati dikibuli.
Puncaknya sebenarnya, titik di mana Prabowo punya kesempatan untuk meraih simpati publik adalah dengan menerima hasil resmi Pemilu dari KPU. Pun kalau dia tidak terima, dia bisa saja menginstruksikan kepada para pendukungnya untuk mengikuti mekanisme hukum yang sedang ditempuh. Bagaikan sengaja, Prabowo melakukan itu setelah pecah kerusuhan. Ya sudah tidak ada gunanya lagi.
Andai Prabowo mau memanfaatkan kesempatan meraih simpati publik dan memilih bersikap sebagai negarawan, maka korban 8 orang meninggal dan 700-an korban luka tidak akan pernah terjadi. Para perusuh pada kerusuhan 21-23 Mei tidak akan punya kesempatan untuk menunggangi ambisi Prabowo. Dengan catatan, bukan Prabowo yang jadi dalang kerusuhan, melainkan orang-orang yang ada di sekitarnya yang menginginkan Indonesia hancur.
Toh kalau dia memilih menjadi negarawan dengan mengajukan gugatan ke MK tanpa membiarkan kerusuhan terjadi duluan, dia tidak akan serugi sekarang ini. Sekarang rasakan saja. Prabowo sudah tidak punya harga diri lagi di mata publik. Dia tidak lebih dari sekedar pengecut dan pecundang yang tidak siap kalah dalam suatu pertandingan
Mirisnya, sampai di MK pun Prabowo masih tetap saja ditunggangi manusia-manusia penuh kebencian dan tak punya integritas, yang hanya mengandalkan kekecewaan saja makanya mendukung dia. Tuntutan mereka ke MK – yang saya yakin sudah dipertimbangkan matang-matang terlebih dahulu – tampaknya hanya sebagai hiburan saja untuk Prabowo sementara pengacaranya mencari panggung. Lah wong bukti kecurangannya hanya link berita saja.
Semua itu terjadi hanya karena kebodohan Prabowo mau dikuasai ambisi politiknya. Padahal dia punya kesempatan berkali-kali untuk mencari simpati publik. Tetapi dia tidak manfaatkan. Dia malah mau dijadikan kuda poni tunggangan.
Sudahlah Pak Prabowo, kembali saja ke Hambalang mengurus kuda.
COMMENTS